TB Indonesia News - Tinggal dan bekerja di Paris
tak dapat dimungkiri telah menjadi magnet bagi tenaga kerja Indonesia
(TKI).Bukan hanya soal gengsi karena tinggal di negara maju dan
modern,tetapi tumpukan euro yang memiliki nilai tukar (kurs) tinggi juga
membuat banyak buruh migran rela melakukan apa saja agar dapat masuk ke
Negeri Mode ini.
Berdasarkan penelusuran SINDO,kebanyakan TKI ilegal di Paris merupakan mantan pekerja di Arab Saudi.Mencermati bagaimana mereka bisa tinggal di Paris ibarat melihat adegan pelarian yang mendebarkan.Cara jamak yang ditempuh para buruh migran Indonesia adalah kabur secara diam-diam pada saat diajak ke luar negeri oleh majikannya. Tentu saja pelarian ini penuh risiko.Yang pasti terjadi adalah hilangnya paspor.Selain itu,adanya kemungkinan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang bisa berakibat dikirim ke penjara,juga ancaman kekerasan fisik, bahkan seksual.
Misalnya yang terjadi pada Husna.Wanita dengan satu anak ini sebelum tinggal di Paris telah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi selama beberapa tahun.Pada suatu kesempatan,Husna berhasil melarikan diri.”Saat di Paris, saya lari dari hotel.Di tengah jalan saya bertemu dengan seseorang berwajah Arab,” ujarnya.“Saya dirayu dan dipaksa tidur di rumahnya. Saya terpaksa menurut karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi.Semalaman saya tidak tidur karena takut ada apaapa. Setiap dia berusaha mendekat,saya tendangtendang,” sambung dia.
Mereka yang mencoba dengan segala cara agar bisa tinggal di Paris memang punya alasan masuk akal.Dibandingkan saat di Tanah Arab,penghasilan dari bekerja di Paris jauh lebih besar.Dihitung secara kotor,pendapatan mereka naik lima kali lipat.“Di Arab rata-rata kami menerima Rp2 juta bersih per bulan.Di sini rata-rata bisa menerima 1.000 euro.Dipotong ongkos kamar, makan,dan lainnya,masih ada sisa separuh lebih,”ujar Lasti, TKW asal Jawa Tengah. Dengan kurs 1 euro setara sekitar Rp12.136,penghasilan para buruh migran mencapai Rp12.136.390 per bulan. Lasti mengaku dibayar 8–10 euro per jam dari bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak tetap.
Uli,wanita asal Kediri, menyatakan hal senada.Dia mengaku tergiur bekerja di Paris karena melihat warga Indonesia yang lebih dulu sukses.“Saya sempat mampir ke rumah Mbak Fatimah. Waduh rumahnya seperti istana,”ujarnya kagum. Fatimah adalah TKW asal Blitar yang sudah tinggal hampir 10 tahun di Paris. Upaya keras para mantan TKW Arab yang saat ini mengais rezeki di Negeri Parfum ini menggambarkan betapa mereka tak pernah menyerah dengan keadaan.
Menantang risiko,bahaya, juga maut harus dilakukan sebagai jawaban atas masa lalu mereka yang rata-rata dibelit kemiskinan dan sebagian besar di antaranya korban gagalnya perkawinan
Berdasarkan penelusuran SINDO,kebanyakan TKI ilegal di Paris merupakan mantan pekerja di Arab Saudi.Mencermati bagaimana mereka bisa tinggal di Paris ibarat melihat adegan pelarian yang mendebarkan.Cara jamak yang ditempuh para buruh migran Indonesia adalah kabur secara diam-diam pada saat diajak ke luar negeri oleh majikannya. Tentu saja pelarian ini penuh risiko.Yang pasti terjadi adalah hilangnya paspor.Selain itu,adanya kemungkinan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang bisa berakibat dikirim ke penjara,juga ancaman kekerasan fisik, bahkan seksual.
Misalnya yang terjadi pada Husna.Wanita dengan satu anak ini sebelum tinggal di Paris telah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi selama beberapa tahun.Pada suatu kesempatan,Husna berhasil melarikan diri.”Saat di Paris, saya lari dari hotel.Di tengah jalan saya bertemu dengan seseorang berwajah Arab,” ujarnya.“Saya dirayu dan dipaksa tidur di rumahnya. Saya terpaksa menurut karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi.Semalaman saya tidak tidur karena takut ada apaapa. Setiap dia berusaha mendekat,saya tendangtendang,” sambung dia.
Mereka yang mencoba dengan segala cara agar bisa tinggal di Paris memang punya alasan masuk akal.Dibandingkan saat di Tanah Arab,penghasilan dari bekerja di Paris jauh lebih besar.Dihitung secara kotor,pendapatan mereka naik lima kali lipat.“Di Arab rata-rata kami menerima Rp2 juta bersih per bulan.Di sini rata-rata bisa menerima 1.000 euro.Dipotong ongkos kamar, makan,dan lainnya,masih ada sisa separuh lebih,”ujar Lasti, TKW asal Jawa Tengah. Dengan kurs 1 euro setara sekitar Rp12.136,penghasilan para buruh migran mencapai Rp12.136.390 per bulan. Lasti mengaku dibayar 8–10 euro per jam dari bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak tetap.
Uli,wanita asal Kediri, menyatakan hal senada.Dia mengaku tergiur bekerja di Paris karena melihat warga Indonesia yang lebih dulu sukses.“Saya sempat mampir ke rumah Mbak Fatimah. Waduh rumahnya seperti istana,”ujarnya kagum. Fatimah adalah TKW asal Blitar yang sudah tinggal hampir 10 tahun di Paris. Upaya keras para mantan TKW Arab yang saat ini mengais rezeki di Negeri Parfum ini menggambarkan betapa mereka tak pernah menyerah dengan keadaan.
Menantang risiko,bahaya, juga maut harus dilakukan sebagai jawaban atas masa lalu mereka yang rata-rata dibelit kemiskinan dan sebagian besar di antaranya korban gagalnya perkawinan
Sindo |
0 komentar:
Posting Komentar