Warga menyuarakan keresahan atas dampak langsung yang sudah mulai dirasakan, seperti debu batubara yang beterbangan, suara bising kendaraan berat, dan penimbunan rawa yang selama ini menjadi daerah resapan air. Mereka menilai proyek ini dijalankan tanpa sosialisasi dan tanpa pelibatan masyarakat sebagai pihak terdampak langsung.
“Tidak ada pemberitahuan, tidak ada musyawarah. Tiba-tiba alat berat masuk, rawa ditimbun, dan jalan hauling dibuka. Kami merasa dilangkahi,” ujar salah satu warga dalam orasinya.
Warga juga menyoroti bahwa kawasan tempat mereka tinggal merupakan zona permukiman, bukan kawasan industri. Pembangunan stockpile dan jalan khusus batubara di tengah permukiman dinilai melanggar tata ruang dan membahayakan kesehatan, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Selain dampak kesehatan, warga khawatir terhadap risiko banjir akibat hilangnya daerah resapan air. Penimbunan rawa yang dilakukan perusahaan dinilai akan memperparah kondisi drainase dan memperbesar potensi bencana saat musim hujan.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi jangan korbankan lingkungan dan keselamatan kami demi keuntungan segelintir pihak,” kata seorang ibu yang ikut dalam barisan aksi.
Warga mendesak pemerintah kota dan provinsi untuk segera menghentikan aktivitas proyek dan mengevaluasi ulang seluruh perizinan yang digunakan perusahaan. Mereka juga meminta agar suara masyarakat didengar dan dilibatkan dalam setiap proses pembangunan yang menyangkut ruang hidup mereka.
Aksi ini menjadi simbol bahwa kesadaran lingkungan tidak hanya tumbuh di ruang akademik atau lembaga, tetapi juga di tengah masyarakat yang merasakan langsung dampaknya. Warga Aur Kenali menegaskan bahwa mereka akan terus bersuara demi mempertahankan hak atas lingkungan yang bersih, aman, dan layak huni. (Red)
.
0 komentar:
Posting Komentar