Berita Terkait :
TB News - Mewujudkan insan manusia yang cerdas dan kompetitif merupakan visi dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Selain itu, visi tersebut juga mengarah kepada penyiapan manusia yang berdaya saing secara global terutama di Kerinci dan Sungaipenuh Provinsi Jambi. Hasan seorang LSM pemerhati pendidikan mengatakan “Bukankah setiap sekolah yang merupakan institusi pendidikan berkewajiban memiliki visi seperti itu? Mengapa harus ada yang dikhususkan? RSBI? Mengapa pemerintah tidak mewajibkan semua sekolah memiliki visi seperti itu agar negara ini mampu maju secara keseluruhan?”
TB News - Mewujudkan insan manusia yang cerdas dan kompetitif merupakan visi dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Selain itu, visi tersebut juga mengarah kepada penyiapan manusia yang berdaya saing secara global terutama di Kerinci dan Sungaipenuh Provinsi Jambi. Hasan seorang LSM pemerhati pendidikan mengatakan “Bukankah setiap sekolah yang merupakan institusi pendidikan berkewajiban memiliki visi seperti itu? Mengapa harus ada yang dikhususkan? RSBI? Mengapa pemerintah tidak mewajibkan semua sekolah memiliki visi seperti itu agar negara ini mampu maju secara keseluruhan?”
Hasan Melanjutkan “RSBI bisa dikatakan sebagai salah satu sarana pemerintah
untuk mendiskriminasi institusi pendidikan yang terhormat: sekolah. Ya, secara
tidak langsung perbedaan dan pengelompokan terjadi di institusi pedidikan
bernama sekolah” kata hasan. Konon, hal tersebut disahkan setelah adanya Pasal
50 Ayat 3 yang menyatakan bahwa Pemerintah maupun Pemerintah Daerah diharuskan
menyelenggarakan atau memfasilitasi sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
(sekolah) pada semua jenjang pendidikan yang bertaraf internasional baik itu
SD, SMP, maupun SMA.
Menurut Ketua Umum Lembaga Talago Batuah Yan Salam Wahab, SHI "dalam landasan
filosofis penyelenggaraan SBI/RSBI, disebutkan bahwa terdapat empat pilar
pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together,
dan learning to be yang merupakan patokan berharga bagi penyelarasan
praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Maksudnya,
pembelajaran tidak hanya memperkenalkan pengetahuan (learning to know), tetapi
juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong penerapan nilai-nilai
tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live
together) dan menjadi peserta didik yang percaya diri dan menghargai dirinya (learning
to be). Keempat pilar ini harus ada mulai dari kurikulum, guru, proses
belajar-mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai pada penilaiannya”
pungkas Yan.
Kenyataan di lapangan kata Yan lagi ”Dalam faktanya, ada beberapa bahkan
banyak sekali sekolah yang berlomba-lomba menjadikan dirinya RSBI. Hal tersebut
disebabkan adanya kucuran dana yang sudah disiapkan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah, dan juga berhubungan dengan pamor sekolah itu sendiri. Ada suatu kendala ketika
sebagian dari mereka belum siap menjadi RSBI seutuhnya. Ketidaksiapan itu
terlihat dari meningkatnya fasilitas yang tak sebanding dengan kualitas dari
sekolah dengan gelar RSBI tersebut” lanjutnya.
Acun juga anggota LSM pemerhati pendidikan ”Sarana maupun fasilitas di RSBI
memang harus diperhatikan, namun lebih penting lagi adalah kualitas dari
penopang sekolah itu sendiri yaitu kepala sekolah dan tentu saja guru.
Berdasarkan penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan
Nasional, terungkap bahwa terdapat lebih dari 80% guru dan kepala sekolah memiliki
kemampuan bahasa Inggris yang sangat rendah. Berdasarkan hasil Test of English
for International Communication (TOEIC), para guru dan kepala sekolah berada di
level novice (100-250) dan elementary (255-400) dari nilai maksimum 990. Dari
hasil tersebut menandakan bahwa para guru dan kepala sekolah yang telah
menjalan tes tersebut ternyata belum cukup memadai secara bahasa karena mereka
masih dalam level novice (pemula) dan elementary (dasar)” pungkasnya.
Yan melanjutkan “Berdasarkan penelitian tersebut tidak mengherankan apabila
banyak guru RSBI yang hanya menggunakan bahasa Inggris pada saat membuka
pelajaran dan salam penutup di kala pelajaran usai, atau hanya menerapkan
penggunaan bahasa Inggris di dalam beberapa soal UTS atau Ujian Semester.
Sedangkan, pada saat penyampaian pelajaran, guru menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dan tidak menerapkan TIK. Padahal sesungguhnya di Indonesia,
salah satu indikator guru yang mengajar di RSBI haruslah menguasai bahasa
Inggris dan TIK. Jika begitu, apa bedanya RSBI dengan sekolah biasa?” katanya.
Lalu Hasan mengatakan“Wajarnya di hapuskan RSBI, karena kami melihat Sekolah
yang berpredikat RSBI di Kerinci dan Sungai Penuh. Setelah kami turun ke
lapangan, tidak lebih seperti Kandang tempat pengembalaan Kambing”. (red)
0 komentar:
Posting Komentar